Daddy 119 [Freelance]

daddy-119

[FF] Daddy 119 —by Yoondae

Staring:
Kim Yu-ra / (OC)
Kim Jong Dae / (EXO)

Guest:
Find it!

Genre:
Family, General

Length:
One-shot

Rate:
 PG-16

A/N:
Original characters belongs to themselves.

 

Yoondae Present

 

Gordyn itu bergerak. Bergoyang karena tertiup angin yang masuk dari celah jendela. Mengizinkan udara dingin itu masuk ke dalam kamar sederhana itu. Kamar itu sengaja dibiarkan gelap. Sengaja agar rasa sepi didalamnya menguar. Tidak ada tawa seperti biasanya. Ataupun tidak ada suara teriakan dari sang pemilik kamar. Tidak ada hawa kebahagiaan didalamnya.

Pemuda itu diam ditempat duduknya. Matanya menatap hamparan kerlipan lampu diluar sana sejak beberapa saat yang lalu. Kelopak matanya tidak bergerak. Membuat matanya sedikit memerah karena hampir kering. Namun ia mengacuhkannya. Jiwanya lebih kering daripada matanya. Ya, mungkin memang benar. Matanya kering karena terus-terusan menangis.

Menangisi kekasih hatinya yang ia cintai tidak bisa lagi bersamanya seperti biasanya.

“Jongdae-hyung, kita harus segera berangkat.”

Pria yang dipanggil Jongdae tersebut menghela nafas pelan. Kemudian meraih sebuah mantel yang berada disandaran sofa lalu mengenakannya dengan sama pelannya. Orang yang menunggunya dari ambang pintu itu dengan sabar menunggu. Ia lalu meraih bahu Jongdae dan merangkulnya.

 

Cuaca sangat cerah ketika Jong-dae tiba di lokasi yang ditujunya. Sembari memeluk erat kendi berisi abu tubuh istrinya, Jong-dae berdiri tegak di pinggir sungai Han yang mengalir dengan tenang. Dalam hati memaki. Alam seakan bergembira dengan kepergian istrinya sehingga menyambutnya dengan cuaca secerah hari ini. Bahkan cuaca hari ini lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya. Jong-dae berteriak didalamsana.

“Kita sudah sampai di sungai Han, sayang.” Gumamnya, seraya membuka tutup kendi yang dibawanya. “Lihat. Cuacanya cerah sekali.” Jong-dae mengambil segenggam abu, kemudian menaburnya dengan pelan-pelan. “Semoga kau suka dengan rumah barumu.”

Tidak ada firasat ataupun pertanda yang mengatakan bahwa istrinya akan berpulang. Sama sekali tidak ada yang aneh, sampai-sampai ia tidak percaya saat Kris mengatakan bahwa istrinya tengah kritis dirumah sakit. Jong-dae yakin tidak ada yang salah dengan kesehatan istrinya. Jong-dae sangat memperhatikan kesehatan Yoon-mi—istrinya dengan begitu telaten sejak kehamilan Yoon-mi diketahui. Tidak ada yang tahu bahwa ada sejenis penyakit didalam jantung Yoon-mi. Dan Jong-dae menyesal melewatkan satu hal yang paling fatal tersebut.

Sekiranya Jong-dae masih memiliki Yura, gadis kecil yang berhasil diselamatkan oleh sang dokter dari dalam rahim Yoon-mi beberapa detik sebelum akhirnya sang gadis kecil berpisah dengan ibunya.

 

***

 

Delapan tahun kemudian

 

Appa!”

Appa! Aduh… Ayo bangun!”

“Ya ampun ayah hari ini pementasan Yura! Kalau ayah tidak bangun, Yura tidak bisa tampil!”

Jong-dae menyibak selimtnya, lalu menguap lebar-lebar sampai membuat Yura menutup mulut ayahnya dengan tangannya sendiri. Karena mendengar gumaman tidak jelas dari sang putri, Jong-dae membuka matanya yang masih sedikit lengket.

“Yura? Hari ini tampil, ya? Wah, kenapa ayah bisa lupa.”

Yura merengut sebal. Bibirnya mengerucut panjang dan pipinya menggembung. “Aigoo, aigoo, lucunya putri ayah.” Kata Jong-dae sambil mencubit kedua pipi Yura.

“Ayah bau! Cepat mandi! Jo imo sudah menyiapkan sarapannya.” Yura turun, lalu menarik selimut Jong-dae karena pria itu hendak bergelung lagi dengan selimutnya. “Ayah!”

“Iya, iya, ayah bangun.”

 

*

 

“Yura hari ini tampil disekolah, ya?” Tanya bibi Jo sambil menuangkan sirup maple ke atas roti pan Yura.

“Iya, bibi. Yura diminta ibu guru Song untuk menjadi Putri Salju!”

“Wah… hebat sekali, Yura-ya. Lalu, pangerannya siapa?”

“Namanya Chanhyun, bibi.” Jawabnya sambil menunggu bibi Jo mengiriskan sarapannya.

“Siapa itu?”

“Anak Baek-hyun dan Chan-hyo, bibi.” Bibi Jo menoleh, menemukan Jong-dae berjalan ke arah mereka sambil mengenakan dasinya.

“Ah, temanmu sewaktu di SMA itu?”

Jong-dae mengangguk. Kemudian bergabung dengan kedua perempuan itu untuk menikmati sarapan bersama. Yura adalah gadis yang ceria diumurnya yang baru delapan tahun. Walaupun ia sangat cerewet, Jong-dae sangat menyayangi gadis itu.

 

***

 

Ruangan itu kini dipenuhi oleh para orang tua yang ingin melihat penampilan anak-anak mereka. Mereka saling berbincang, saling menceritakan kelebihan anak mereka masing-masing agar terdengar pintar dimata orang lain. Jong-dae menggeleng pelan. Telinganya mendengar beberapa perbincangan kemudian bergumam pelan. Hingga kemudian kedamaiannya diusik oleh kehadiran dua orang.

“Jong-dae! Apa kabar?” Katanya sambil memeluk dan menepuk-nepuk punggung Jong-dae. “Wah, lama sekali tidak bertemu.”

“Kau makin gemuk, Baek-hyun.”

Yang dia panggil Baek-hyun itu tertawa,  kemudian membiarkan Chan-hyo menjabat tangan Jong-dae. Ibu muda itu adalah teman istrinya saat SMP, dan mungkin juga Baek-hyun dan Chan-hyo-lah yang membuat Jong-dae dan istrinya bertemu.

“Sepertinya kita akan berbesan nanti.” Bisik Baek-hyun saat sang pembawa acara masuk ke atas panggung. Jong-dae memukul kepala Baek-hyun agak keras, hingga membuat ayah satu anak itu mengaduh.

“Kudengar Chanhyun akan kau sekolahkan di Jepang.”

“Rencananya begitu,” jawab Baek-hyun. “Bagaimana kau selama ini? Kau baik-baik saja mengurus Yura sendirian?”

Jong-dae tersenyum kecil. Lalu merapikan jas yang dikenakannya. “Aku tidak merasa kesulitan selama ini. Ada Bibi Jo yang membantuku.”

“Kau sudah merencanakan masa depan putrimu?”

“Aku akan membesarkannya disini. Akan kubiarkan dia memilih jalan sendiri ketika dewasa nanti. Seperti kata Yoon-mi dulu.”

Baek-hyun mengangguk paham. Temannya itu sangat mencintai mendiang istrinya. Membuatnya masih ingat apa saja yang pernah Yoon-mi katakan. Bahkan Baek-hyun berani bertaruh bahwa Jong-dae akan menjadi ayah yang hebat untuk Yura. Gadis kecil itu sekalipun tidak pernah terlihat murung. Menjadi bukti bahwa Jong-dae memang membesarkannya dengan sungguh-sungguh, dan penuh kasih sayang.

“Hei,” Jong-dae menoleh ke sebelahnya. “Putra-putri kita akan tampil sebentar lagi. Aku bertaruh, Chanhyun akan menjadi yang terhebat!”

“Tidak bisa, Baek-hyun. Tetap Yura yang akan menjadi Putri Salju paling cantik di abad 21 ini.”

“Tidak bisa.”

“Tentu bisa, Byun Baek-hyun.”

“Byun Chanhyun akan menjadi pangeran paling mempesona sejagad raya!”

“Jangan bermimpi.”

“Kau juga jangan bermimpi!”

“Byun Baek-hyun!”

“Kim Jong-dae!”

“Kalian berdua!”

 

***

 

Jong-dae membelikan sebuah kue tart rasa coklat kesukaan Yura atas penampilannya tadi. Yura tidak bisa berhenti berceloteh dengan riang betapa gembiranya dia saat penonton bertepuk tangan kepadanya. Bahkan guru-guru memujinya bertubi-tubi. Bibi Jo yang melihatnya ikut tersengat merasa gembira, bahkan tertawa karena melihat tingkah putri tunggal keponakannya yang sangat menggemaskan itu.

“Bibi! Bibi! Setelah itu, aku tidak mengira kalau Chanhyun akan menciumku! Sungguh menciumku! Bibirnya menempel di kulitku, Bibi! Apakah nanti aku akan hamil?”

Bibi Jo tertawa, lalu mencubit hidung mungil milik Yura. “Yura tidak akan hamil karena dicium.”

“Tapi ‘kan Bibi…”

“Dia hanya mencium pipimu, sayang.” Kata sang ayah.

“Tapi kata Da-mi, ibu hamil kalau dicium.Chanhyun juga bilang begitu.Dia bilang aku harus menikah dengannya kalau aku hamil.” Kemudian dengan tiba-tiba Yura menangis. “Aku tidak menyukai Chanhyun, ayah. Aku tidak mau menikah dengannya.” Bibi Jo kelihatan sekali kalau panik dan bahkan hampir tersedak karena terkejut bukan main.

Jong-dae mengeram dalam hati. Si bodoh Baek-hyun itu benar-benar. Apa yang dia ajarkan pada anaknya sebenarnya?

“Yura-ya, Yura tidak akan menikah dengan Chanhyun. Ayah juga tidak mau.” Yang benar saja, pikir Jong-dae. Membayangkan berdekatan dengan Baek-hyun sebentar saja sudah membuat keributan, apalagi kalau menjadi besan?

“Benarkah ayah? Aku tidak akan hamil?”

Jong-dae mengusap sayang rambut halus milik putrinya. “Iya. Sudah ayo cepat dimakan kuemu.”

 

*

 

“Bintang mana yang paling Yura suka?”

“Itu, ayah!” Tunjuk Yura ke atas, menunjuk sebuah bintang yang nampak berkedip-kedip di arah pukul dua.

“Mana?”

“Itu, ayah. Yang paling terang!”

“Mana? Ayah tidak lihat.”

Yura menggerutu sebal, lalu mencubit tangan ayahnya. “Mana bintang kesukaan ayah?”

“Bintang kesukaan ayah tidak ada dilangit.” Yura menatap Jong-dae dengan tidak paham.

“Dimana?”

“Bintang kesukaan ayah adalah, Kim Yura.” Jawab Jong-dae sambil mencium puncak kepala Yura. Tercium bau shampo aroma strawberry kesukaan putrinya. Malam itu Jong-dae sengaja mengajak Yura untuk menikmati langit malam, seperti kebiasaannya dengan Yoon-mi dulu.

“Ayah…”

“Mm?”

“Boleh ‘kah Yura bertanya sesuatu?” Yura bergerak-gerak dipangkuan ayahnya. Mendengar sang ayah bergumam mengiyakan, Yura mengumpulkan sejumlah keberaniannya untuk bertanya. “Sebenarnya….Ibu dimana?” Tanya Yura hati-hati. Takut jika nanti ayahnya akan marah.

Jong-dae termangu sejenak. Memutar otaknya yang hampir melupakan bahawa putrinya itu belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya.

“Ayah?”

“Oh, ya Yura?”

“Kenapa ayah tidak menjawab pertanyaan Yura? Dimana ibu?” Tanya Yura lagi. Ayahnya hanya tersenyum kecil, kemudian menunjuk langit diatas kepala mereka.

“Ibu ada diantara bintang-bintang itu. Lihat tidak?”

Yura mengerutkan keningnya, tampak kebingungan. “Kenapa ibu bisa sampai kesana? Tinggi sekali. Naik apa kesana? Yura juga ingin ikut.” Tanya Kim Yura polos.

“Ibu ada disana. Jauh diatas sana. Ibu bersama kakek dan paman Yura.”

“Tapi ‘kan kakek dan paman sudah meninggal.” Yura mendongak, menatap wajah ayahnya yang nampak sendu. Jong-dae mengelus kepala Yura dengan sayang, merasa bersalah karena tidak memberitahu Yura sejak dulu. Yura sedikit mengerti. Jika ibunya bersama kakek dan pamannya, itu berarti ibunya sudah meninggal.

Mata gadis kecil itu memerah, lalu memeluk sang ayah dengan erat dan menangis kencang dipelukan itu. Menumpahkan segala kerinduannya kepada sosok ibunya, didada sang ayah. Jong-dae tidak bisa menahan rasa sedih, saat Yura menangis semakin kencang dan memanggil-manggil ibunya. Meminta ibunya untuk pulang. Jong-dae juga sangat merindukan perempuan itu. Rindu sekali.

“Dulu, saat ayah begitu terkejut mendengar ibumu sudah meninggal, ayah menangis. Ayah menangis keras sekali hingga harus ditenangkan banyak dokter. Dokter-dokter itu berkata kepada ayah bahwa ibumu berhasil menyelamatkan seorang gadis kecil yang lahir dari dalam perutnya. Ayah langsung menuju dimana gadis itu dibaringkan, dan tangis ayah semakin keras hingga ayah tidak mengeluarkan suara. Ayah begitu terpukul tidak bisa merasakan kebahagiaan ketika menggendongmu pertama kali bersama ibumu. Tapi, ayah tahu, anak kecil ini akan menemani ayah. Yura akan menjadi Kim Yura yang hebat, yang akan menjadi putri kami dan akan membuat ayah disini, dan ibu disana bangga. Benar, ‘kan?”

Yura mengangguk kuat.

“Yura berjanji, ayah.”

 

***

 

Beberapa belas tahun kemudian

 

Yura keluar dari bandara dengan langkah mantab. Kepalanya sibuk berputar ke kanan dan ke kiri, mencari dimana sosok ayahnya berada. Dia baru saja diwisuda dari sebuah universitas di Australia dan langsung pulang ke Korea. Dia sudah terlalu lama meninggalkan kota kelahirannya, dan sang ayah.

Appa!”

Yura menyeret kopernya ke arah pukul sebelas, disana ada ayahnya yang sedang melambai-lambai kepada sang putri. Yura langusng memeluk ayahnya dengan erat.

“Aku merindukanmu, ayah.”

“Begitupun ayah, Yura,” Jong-dae menarik diri, lalu mengamati putrinya yang kini sudah besar dengan seksama. “Kau sudah besar. Bukan lagi seperti Yura saat masih kecil.”

“Tentu saja. Siapa dulu ayahku.”

Keduanya lantas beranjak dari area bandara bersama-sama. Yura merindukan semuanya setelah lima tahun pergi dari negara ini. Menuntut ilmu di negeri orang dengan menggantung cita-citanya sebagai pengacara tinggi-tinggi.

“Yura-ya?”

“Ya, ayah?”

“Kau sudah punya pacar?”

Eobseo-yo. Pacarku hanya ayah.”

Jong-dae tertawa lepas, kemudian merangkul putrinya dan membawanya pergi.

“Ayah punya kenalan. Dia tampan dan kaya. Bagaimana?”

“Ck. Ayah.”

“Baiklah-baiklah.”

 

 

End

2 respons untuk ‘Daddy 119 [Freelance]

Tinggalkan komentar