[Special Chen Birthday] Hole in The Wall

Hole in The Wall

LDS, 2017

EXO Chen (Kim Jongdae) x f(x) Luna (Park Sunyoung) // Romance // Vignette // Teen and Up // Prompt: Chenderella

.

I know, it’s OK, let’s start now.

(EXO – Ko Ko Bop)

***

“Ke mana kau akan membawaku? Jongdae-oppa, kau benar-benar menculikku?! Antar aku kembali ke hotel sekarang juga! Hei, dengarkan aku!!!”

Sunyoung tidak berhenti berontak ketika Jongdae menyeretnya melalui lorong dalam Dinding Kota Dubrovnik yang minim pencahayaan. Dari luar, memang tempat itu tampak misterius dan menarik, tetapi bagian yang kini mereka masuki muram sekali, apalagi matahari hampir bersembunyi di ufuk. Apa pria bertulang pipi tinggi di depan Sunyoung ini tidak salah arah? Jangan-jangan, tembok bata ini berujung pada bekas kamp konsentrasi atau semacamnya?

Kekeh Jongdae bergaung dalam ruang sempit.

“Aku ini bukan penjahat, jadi biarpun sedang menyanderamu, aku tetap memastikan kamu nyaman denganku.”

“Mana nyaman aku kalau pergelanganku digenggam terlalu erat begini?! Sakit, tahu, aku—“

Kalimat ini menggantung akibat wangi laut dan merdunya desir ombak.

Gagal marah, lidah Sunyoung mendadak kelu oleh pemandangan langit dua warna di balik dinding kota: biru bergaris lembayung, indah tak terperi. Angin pantai membelai kulitnya, meniup menggoda terusan pastel selututnya, dan demikianlah dara mungil itu dihanyutkan salah satu keajaiban rahasia Kroasia. Jongdae sendiri sempat teralihkan oleh kilauan Adriatik di hadapan, tetapi semu di wajah Sunyoung merebut fokusnya untuk kali kedua.

“Kupersembahkan padamu Buza, lubang di dinding yang terlindung dari dunia. Sampai kakakku datang, aku akan menyimpanmu di sini, Park Sunyoung-ssi.”

Jongdae menggenggam lembut telapak Sunyoung, membimbingnya menuruni anak-anak tangga agar bisa mencapai dataran bertingkat dengan payung-payung putih di bawah. Si putri Park komplain soal betapa melelahkan liburannya kali ini, tetapi ia tidak melancarkan protes lagi setelah itu. Dalam diam, diteguknya bir lokal dalam gelas plastik, suguhan apa adanya dari Buza Bar 1 yang terdekat dari mereka. Sungguh, pelayanan tempat ini sangat substandar untuk ukuran seorang Kim …

… kecuali Kim Jongdae.

“Apa kau tahu kapan Joonmyun-oppa dan Minseok-oppa datang?” Sunyoung membuka topik pembicaran baru, melegakan Jongdae. Suasana Buza Bar jauh dari restoran bintang lima yang biasa dikunjungi Sunyoung, hebatnya ia tampak tak terusik, kendati tadinya meronta-ronta tak karuan.

“Mungkin sekitar pukul sembilan malam.”

Ucapan Jongdae membuat Sunyoung terbelalak.

“Masih empat jam dari sekarang! Apa artinya aku harus bersamamu selama itu?”

Menyisihkan gelas plastiknya, Jongdae mengangkat alis dan tersenyum jahil.

“Memangnya kenapa?”

Jelas saja Sunyoung gelagapan. Gestur main-main Jongdae bukan sebuah pertanda baik untuk pertunangannya.

“Kita kan sudah sepakat untuk membatasi diri! Aku bukan milik Oppa lagi, jadi berhentilah berlaku seolah-olah kau masih pacarku! Aish, kenapa juga Joonmyun-oppa menyuruhku terbang duluan denganmu kalau pekerjaannya belum selesai? Aku bisa menunggu sampai urusannya tuntas, kok.”

“Joonmyun-hyeong yang tidak ingin mengecewakanmu.” Jongdae meletakkan selembar rencana perjalanan di hadapan Sunyoung, ditulis langsung oleh tunangan si gadis. “Kau hanya punya tujuh hari untuk berlibur dan dia telah memikirkan masak-masak harus mengisi setiap harinya dengan apa. Pertama, ia ingin mempersembahkan padamu keindahan matahari terbenam Dubrovnik, tetapi panggilan mendadak ke kantor mencegahnya menyenangkanmu sesuai jadwal. Jadi, di sinilah aku, sementara menggantikan kakakku memukau calon istrinya yang cantik.”

Demi mendengar pujian bernada merayu itu, Sunyoung mendengus.

“Hatiku hanya buat Joonmyun-oppa. Jangan coba-coba menyentuhnya atau kau akan celaka.”

“Tidak sama sekali. Bukankah aku hanyalah si anak tengah yang senantiasa menunggu perintah? Mana berani aku memegang-megang kepunyaan mereka tanpa izin?”

Meneguk lagi, Jongdae membiarkan Sunyoung menatapnya iba. Tatapan serupa pernah menjatuhkan Jongdae dalam dekapan perempuan berkulit langsat itu. Akhirnya, ada orang yang mengerti betapa lemah posisinya dalam Keluarga Kim, juga betapa sebenarnya ia masih berhak akan kasih sayang serta penghargaan orang tuanya, sekalipun ia sangat jauh dari kursi dewan direksi perusahaan keluarga. Sunyoung adalah orang pertama di luar putra-putra Kim yang memahami keindahan lagu-lagu gubahan Jongdae, yang tidak menjadikan posisi di kantor sebagai tolok ukur pesona seorang pria, yang memikat Jongdae paling lama dari sekian banyak wanita.

Namun, cincin di jari manis Sunyoung bukan Jongdae yang menyematkan, melainkan kakaknya, Joonmyun yang paling cemerlang, paling tampan, paling segalanya di mata Tuan dan Nyonya Besar Kim. Maka itu, empati si perempuan tidak digali lebih dalam maknanya oleh Jongdae. Ia tidak mau menemukan peluang dalam emosi sang mantan kekasih—peluang untuk menjalin ikatan anyar yang jelas merusak.

“Jangan sia-siakan perasaanmu itu cuma untuk mengasihaniku.” Kepala Jongdae meneleng ke arah permukaan biru yang deburnya mencium tebing. “Mengapa tidak mulai mencari inspirasi untuk comeback? Joonmyun-hyeong tidak memilih tempat ini tanpa alasan. Apa garis batas langit dan laut di sana tidak menyentil sisi melankolismu?”

“O.” Sunyoung bergeser sedikit di kursinya. “Kau—tidak—Joonmyun-oppa ingin aku menulis lirik di sini?”

“Mungkin. Dia selalu menunggu karya-karya barumu.”

Padahal, ada Jongdae dalam kredit setiap rilis baru Sunyoung, entah itu di aransemen atau di lirik. Luna—nama panggung Sunyoung—tidak akan menjadi salah satu pentolan Keluarga Park jika bukan karena seniman kebanjiran ide yang selama ini disembunyikan Keluarga Kim.

“Tapi, aku paham benar ini liburan yang tidak semestinya dibebani urusan kerja. Bebaskan dirimu, bersenang-senanglah. Di tanah asing ini, kau cuma akan menjadi Park Sunyoung dan bukan Luna.” Usai gelasnya kosong, Jongdae bangkit, merasa agak kegerahan. “Aku mau coba cliff jumping. Kau?”

“Jangan tinggalkan aku, Oppa.” Tanpa peringatan, Sunyoung menegakkan tubuh rampingnya dan menautkan lengannya pada siku Jongdae. “Aku ikut ke sana, tetapi tidak ikut menyelam. Jangan lama-lama.”

Sialan. Tadi bilang hatinya hanya milik Joonmyun, lalu apa-apaan lengan ini?

Menyadari arah pandang Jongdae, Sunyoung buru-buru menarik tangannya dan bersikap seakan-akan ia tidak takut ditinggal sendirian.

“Hati-hati.”

Kalimat ini bisa saja merupakan bagian dari upaya peredam kecanggungan, tetapi Jongdae tidak mampu mengenyahkan dugaan bahwa Sunyoung betul-betul mencemaskannya seperti dulu. Beruntung, Jongdae telah terlatih menghadapi situasi menggoyahkan ini. Perlahan, ia bebaskan lengannya dari Sunyoung, lantas mengusap sayang rambut tembaga Nona Park sembari mengulas senyum.

“Dimengerti. Aku kan mau pamer padamu, bukannya ingin diantarkan ke rumah sakit.”

“Apa lagi, sih, yang mau kaupamerkan?”

“Makanya, duduk manis dan saksikan aksiku.”

Sunyoung kontan berpaling begitu Jongdae membuka kemeja longgarnya. Protes si gadis tertunda sebab di pantai, menanggalkan pakaian tiba-tiba bukan sebuah hal tabu, tak peduli betapa malunya Sunyoung melihat Jongdae bertelanjang dada begitu. Di sisi lain, Jongdae sangat menikmati keusilannya, tergelak girang sebelum mengambil ancang-ancang sejauh mungkin dari tepi tebing.

“Sunyoung-ah, perhatikan aku!!!”

Dan, apa yang ingin Jongdae teriakkan semenjak Sunyoung bertunangan dengan Joonmyun lepaslah sudah. Ia muak menjadi obyek pengabaian Sunyoung, meskipun ia mengerti peraturanlah yang memaksa Sunyoung setia pada pria selainnya. Ia lelah tenggelam seorang diri dalam kenangan selagi Sunyoung berpesta bersama Joonmyun. Terlalu lama ia bersikap layaknya karpet merah nan rendah, sementara di atasnya melangkah wanita yang ia cintai, mengiringi si ‘pangeran negeri dongeng’.

Cinderella saja memperoleh akhir untuk kisah deritanya. Kapan lara Jongdae akan tamat juga?

Jongdae terempas keras ke laut dan setelah bunyi ceburan, ia terlingkupi sunyi. Sejenak, ia tidak memikirkan apa pun. Sejenak yang kedua, ia meresapi keremangan bawah air untuk meleburkan sesak di dadanya. Aku masih mencintai Sunyoung berdengung dalam benaknya yang mengabur oleh kondisi kurang oksigen. Sejenak berikutnya, ia berenang ke atas buat mengambil napas banyak-banyak. Melalui netranya yang buram, Jongdae menemukan siluet Sunyoung di pinggir tebing, kian jelas ketika ia menghapus titik air dari matanya.

Mengapa Sunyoung tak pernah jemu menunggu Jongdae? Apakah dia tidak sadar milik siapa hidupnya sekarang? Cerita cinta yang dibangunnya dengan Joonmyun, apakah formalitas belaka sebagai penyelubung rasa yang sebenarnya?

Oppa, bajumu—“

Setibanya di atas, Jongdae tidak memberi kesempatan Sunyoung bicara. Kemejanya yang terlipat dalam pelukan Sunyoung, juga terusan yang dikenakan si gadis, melembab oleh lautan dan harum alami tubuhnya. Hangat senja Dubrovnik menerpa punggung Jongdae ketika bisikan lirihnya tertangkap rungu Sunyoung.

“Sampai Hyeong datang pukul sembilan nanti, kumohon, jadilah kekasihku lagi.”

***

“Aku tahu cepat atau lambat kau akan mengatakannya.”

Memperlebar ruang antara dirinya dan Sunyoung, Jongdae mendapati kurva getir di bibir Sunyoung—yang ganjilnya lekas terganti binar ceria. Tumit sandal Sunyoung terangkat dari tanah ketika ia berupaya menggapai Jongdae.

“Haruskah kita mulai sekarang?”

Langit menggelap bersamaan dengan penghujung tanya tanpa jawab ini. Mentari kemudian menciptakan rongga waktu yang cukup untuk Jongdae, Sunyoung, dan sebuah kecupan intim tanpa interupsi, mengawali sisa malam di mana sejarah asmara mereka akan direka ulang.

TAMAT


hbd chentongku yg lagi menempuh pendidikan S2 *cieh. moga makin ketjeh dan makin hobi ngeromet nyahahahaha. saya belum lupa sama anda bapak dae biarpun byk yg lebih muda dari situ, tenang saja. dan kapel favorit akika still alive yuhuuuu.

12 respons untuk ‘[Special Chen Birthday] Hole in The Wall

  1. ngenes parah, kata-kata e Jongdae pas ngejak gendak an maneh.
    ya Allah
    aku gag kuat bank
    masio Suho mbois tapi awakmu tetep di hati -mungkin ini yang dikatakan oleh Luna jika dia adalah saya.

    Suka

    1. “masio Suho mbois tapi awakmu tetep di hati -mungkin ini yang dikatakan oleh Luna jika dia adalah saya.”

      lha iyo iku. kan awak dhewe ojob e chen sampai kapan pun
      *ORA

      Suka

  2. Kenapa harus baverin cemceman orang sih chen
    Sini ama aku aj *eh

    Tapi kok kamu cocok banget sih jd PHO
    Muka lakinya cocok bnget 😂😂😂

    Disukai oleh 1 orang

    1. Karena jongdae selalu menjadi sumber kenistaan di ff romance member lainnya maka kali ini mari kita jadikan dia pho tamvan hahahaha
      Makasih udh baca!

      Disukai oleh 1 orang

  3. Tamat? Apanya yang tamat Li? Kisah cintanya Jongdae opo Luna?
    Ah…gantung ini…
    pake ada orang ketiga pisan. Hatiku….
    😢😢😢
    Gak relaaaa….

    Suka

    1. POV lain???
      Hmmm siapakah gerangan?
      Dari bau yang tercium sepertinya Joomyun. /Sotoy/ 😂
      Oke, semangat selalu Li. Keep writing. 😄😄😄
      Otw, nyari lanjutannya…

      Suka

Tinggalkan komentar