[CHENFFI Birthday] Deskmate

irish-deskmate

|   Deskmate   |

| Jongdae x Arin |

|  Childhood x Crime  | Ficlet | General |

| story by IRISH |

██║ ♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ │█║♪ ♫ ║▌♫ ♪ ║██

In Author’s Eyes…

Normalnya, tahun ajaran baru adalah sebuah waktu yang tepat untuk mencari teman baru, dan pengalaman baru. Tapi hal itu agaknya tidak berlaku bagi seorang Kim Jongdae. Sebab, Jongdae kecil lebih suka bermain dengan setengah lusin kelereng yang ibunya belikan dibanding bermain dengan teman sekelasnya.

Meski ia baru duduk di kelas dua, tapi Jongdae sudah bisa memilih siapa orang yang mau diajaknya bicara dan mana yang tidak. Contoh saja, teman sebangkunya hari ini, namanya Do Arin, bocah bertubuh gembul dengan rambut keriting yang dikucir dua dan sepasang gigi seri depan yang tanggal.

Melihat penampilan Arin saja sudah membuat Jongdae menyernyit lantaran merasa jijik. Belum lagi, di hari pertama sekolah mereka, Jongdae mendapati Arin—bocah yang bahkan kesulitan melafalkan huruf ‘r’ itu—tengah pilek parah dan pagi tadi secara tidak sengaja membuat seragam putih bersih Jongdae ternodai likuid kental kehijauan yang keluar dari hidung si gadis.

Ugh, sudah bisa ditarik kesimpulan kalau Jongdae mengibarkan bendera perang pada teman semejanya itu.

“Dae-ya! Kamu tidak makan siang?” teriakan lantang bernada sopran seorang gadis sekarang masuk ke dalam pendengaran Jongdae. Ugh, siapa juga yang berteriak di kelas kosong seperti ini?

Dari sudut mata, bisa Jongdae lihat bagaimana Arin berdiri di ujung pintu dengan memamerkan tempat makan perseginya yang berwarna merah. Kedua mata sipit Arin sekarang tenggelam di balik pipi gembilnya yang tersenyum lebar ke arah Jongdae, sementara tangan kirinya bergerak mengusap hidungnya.

“Tidak.” hanya satu kata yang berhasil lolos dari bibir Jongdae, antara jijik, kesal, tapi sebenarnya dia juga lapar. Mau bagaimana lagi, Jongdae tipe yang lebih memilih kelaparan daripada harus berjalan keluar kelas dan membeli makanan di kantin sekolah.

“Ya sudah kalau begitu!” lagi-lagi teriakan Arin terdengar, gadis itu membawa dirinya melangkah ke arah meja yang ia tempati berdua dengan Jongdae—sementara Jongdae sendiri duduk di lantai belakang kelas, sibuk membuat kelerengnya berbaris.

Diam-diam, Jongdae memperhatikan gerak-gerik Arin. Sedikit mengherankan memang melihat bocah bertubuh gembul itu bisa duduk dengan penuh percaya diri di tepi jendela yang terbuka. Padahal, guru-guru jelas melarang muridnya untuk duduk di jendela.

Berbahaya, katanya. Karena kelas mereka ada di lantai dua dan berbatasan langsung dengan halaman belakang sekolah. Tapi sebenarnya yang salah aturan sekolah juga, mengapa membuat murid kelas dua sekolah dasar menempati kelas di lantai dua?

Ah, lantai dua. Tiba-tiba saja Jongdae mendapat ide cemerlang.

Senyum samar bocah Kim itu pamerkan saat ia berhasil menyusun rencana jahil kecil di dalam otaknya. Sempat ia lirik bagian lengan seragamnya yang membekas kekuningan karena ulah Arin pagi tadi—pemandangan yang berhasil membuat Jongdae menelan senyumnya—sebelum ia akhirnya bangkit.

“Kamu makan apa?” tanyanya berpura-pura ramah. Jongdae memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam saku celana, sementara dengan sengaja ia melangkah perlahan sementara netranya berkelana, melihat ke kiri dan kanan jika saja ada murid lain yang berencana masuk ke kelas.

“Sosis! Ibuku memasak sosis hari ini, kamu mau?” Arin menawari tanpa menaruh curiga, tidak tahu jika Jongdae sekarang tengah mengulum senyum kemenangan. Kurang dari lima belas detik lagi rencana kecilnya akan terealisasi.

“Boleh aku mencoba? Kamu geser sedikit, aku juga ingin duduk di sana.” ucap Jongdae, memasang senyum ramah yang ia paksakan. Aslinya, jika saja bisa Jongdae ingin mendorong bocah bertubuh gembul itu sekarang juga.

Tapi Jongdae tidak mau bertindak gegabah. Dia tidak suka menyentuh orang-orang yang membuatnya kesal.

“Oke, duduk di sini, Dae-ya.”

“Sini, kubantu memegang kotak makanmu.” Jongdae menawarkan bantuan, ia mengeluarkan saputangan persegi yang selalu ada di saku pakaiannya sebelum dengan jijik ia meraih kotak makan merah yang ada di tangan Arin tanpa menunggu persetujuan pemiliknya

“Terima kasih.” Arin berkata, masih dengan nada ramah, sementara ia sedikit kesulitan memposisikan tubuh gembulnya di antara celah sempit jendela.

Sekali lagi, Jongdae menatap ke kiri dan kanan, dipastikannya tidak ada seorang pun yang mungkin melihat tindakannya. Sekon selanjutnya, Jongdae langsung bersuara.

“Arin! Ada cicak di rokmu!”

“Mana!? Akh! Jongdae—akh!”

Panik lantaran mendengar teriakan Jongdae, Arin bergerak untuk menyingkirkan benda asing yang mungkin benar-benar ada di rok biru miliknya. Tapi sayang, dengan tubuh gembulnya ia tidak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya limbung.

Melihat si gadis berusaha menggapai dirinya untuk meminta bantuan, Jongdae justru bergerak menjauh. Dengan sengaja, ia menggunakan kakinya untuk menendang lutut Arin yang masih berusaha memijak bangku.

“Dae—aakhh!”

BRUGK!

Senyum kini muncul di wajah Jongdae. Hati-hati, ia mendekati jendela dan melirik ke bawah. Benar dugaannya, tubuh Arin sudah tergeletak di tanah, dengan cairan kental berwarna gelap yang mulai muncul di bawah tubuhnya. Dengan sengaja, Jongdae mengulurkan tangan kirinya ke luar jendela, menjatuhkan tempat makan Arin ke tanah.

“Maaf, Arin. Aku tidak sengaja.” Jongdae berkata saat ia merasa puas memandang tubuh Arin di bawah sana yang tidak bergerak.

Jongdae kemudian merapikan letak kursinya, ia bersihkan bekas kaki Arin yang berpijak di kursi sebelum akhirnya ia melangkah tenang ke luar kelas. Memang, Jongdae sengaja tidak menutup jendela kelasnya, atau berteriak meminta bantuan.

Pikirnya, mungkin orang-orang akan merasa curiga jika jendela tertutup.

Jongdae tentu merasa tenang, siapapun yang nanti menemukan Arin pasti berpikir jika gadis itu tergelincir dari jendela, bukan? Ya, siapa juga yang akan mengira jika seorang bocah berusia delapan tahun bisa dengan sengaja berusaha membunuh teman sekelasnya?

Lagipula, Jongdae sendiri tidak yakin apa Arin masih hidup saat ditemukan nanti.

“Dae-ya? Memangnya dia pikir dia kakakku sampai memanggilku dengan nama seperti itu? Dia pasti bercanda.”

— FIN —

a/n:

Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini: jangan takut sama cicak karena bisa menyebabkan kematian, dan jangan sok baik sama temen sebangku karena mungkin diam-diam dia pengen ngebunuh…

15 respons untuk ‘[CHENFFI Birthday] Deskmate

  1. ._. Ngeri gitu ya. Krenyes krenyes nyes xD
    Cuma gegara masalah sepele, ampe kaya gitu. Masih bocah udah psycho si Chen 😂🔫

    Btw aku baca dr bagian kesembilan ini cerita, baru ke sini. Keren dah kalau cerita kripi kaya gini. Mana tokohnya masih bocah pulak

    Suka

  2. Pesan moralnya akan selalu teringat kak! Jadi pertama gak boleh duduk di jendela, karena lebih berbahaya dari merokok. Terus gak boleh takut sama cicak… Siap kak! Akan kuingat selalu mwehehe :3
    Keep writing kak!

    Suka

    1. beneeerrr.. wkwkwkwk..
      ironinya kehidupan ketika waktu kecil jongde perna nyoba bunuh arin, taunya arin ga mati malah nikah sama dia malah baek pas nikahin jongde, pas tua ternyata masi sama arin dan bahkan jongdenya yang bunuh diri :3

      Suka

  3. masih kecil udh pingin mbunuh. irish memang jagonya bikin ginian. adegan penutupnya horor tuh. sialnya adalah gedenya nih anak masih jadi istrinya jongdae ya kok untung dia ga disiksa jongdae waktu nikah T.T
    keep writing!

    Suka

    1. MBAKLI TOLONG KUSALFOK SAMA BAGIAN PAS GEDE SI ARIN JADI BININYA JONGDAE JUGA, WKWKWKWK. EMANG JODOH ITU ENGGAK KEMANA :”) alhamdulillah idupnya barokah, karena hampir dibunuh Jongdae mereka justru berjodoh…

      Suka

Tinggalkan komentar